
“
… Dia pernah tampil di mimbar “A Prayer for
America” di Stadion Yankee, kota New York, 23 September 2004. Sekitar 50
ribu orang memadati stadion itu. Tua-muda, lelaki dan perempuan, kulit
putih dan kulit hitam, dan pelbagai ras dan bangsa di Amerika “tumplek
blek” di situ …”
Oleh:
Akhmad Kusaeni
Indonesia harus bangga memiliki Syamsi Ali, imam asal Bulukumba yang
menjadi jurubicara Muslim di Amerika Serikat. Ia adalah penyiar Islam di
negara adidaya yang sekarang sedang berperang melawan terorisme, yang
celakanya sering dikait-kaitkan dengan Islam.
Syiar Islam dan dakwah Ustadz Syamsi Ali (40), tidak terbatas kepada
jemaah warga Indonesia saja, melainkan juga Muslim Amerika. Khususnya di
New York dan Washington DC.
Selain sebagai imam pada Islamic Center, masjid terbesar di New York,
Syamsi Ali juga dipercaya menjadi Direktur Jamaica Muslim Center,
sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York yang dikelola
komunitas Muslim asal Asia Selatan, seperti Bangladesh, Pakistan dan
India.
Syamsi berasal dari sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan.
Kepintarannya berdakwah sudah tampak sejak menjadi santri di pondok
pesantren Bulukumba. Ia pergi ke Arab Saudi untuk memperdalam ilmu agama
dan ke Pakistan untuk belajar ilmu dunia, sebelum menjadi lokal staf di
Perwakilan Tetap RI di New York. Ia mengharumkan citra Islam Indonesia
yang moderat dengan pandangan dan aktivitasnya di berbagai forum
internasional.
Misalnya saja ia pernah tampil berdakwah di mimbar “A Prayer for
America” di Stadion Yankee, kota New York, 23 September 2004. Sekitar 50
ribu orang memadati stadion itu. Tua-muda, lelaki dan perempuan, kulit
putih dan kulit hitam, dan pelbagai ras dan bangsa di Amerika “tumplek
blek” di situ.
Di panggung, hadir ratu acara bincang-bincang televisi Oprah Winfrey,
mantan Presiden Bill Clinton, senator Hillary Clinton, Gubernur Negara
Bagian New York George Pataki, Wali Kota New York Rudolph Giuliani,
artis Bette Midler dan penyanyi country Lee Greenwood. Di New York,
statistik menunjukkan terdapat lebih 800.000 kaum Muslimin.
Di podium, Syamsi membacakan dan mengupas surat Al-Hujurat ayat 13
yang intinya bercerita tentang asal-usul manusia yang dijadikan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tidak ada bangsa yang paling tinggi
derajatnya, karena yang termulia adalah yang paling bertakwa.
Dengan mengurai makna ayat itu, Syamsi ingin menceritakan kepada
publik Amerika bahwa Islam adalah agama yang mengakui persaudaraan umat
manusia.
“Islam tak membenci umat lain. Justru Islam datang untuk mengangkat
derajat semua manusia,” kata Syamsi Ali, berusaha mengurangi kebencian
sebagian warga Amerika terhadap Islam pasca serangan teroris 11
September 2001.
Sejak peristiwa itu, semakin banyak orang di Amerika Serikat yang
ingin tahu lebih mendalam mengenai Islam. “Inilah tugas kami untuk
memberi penjelasan sebenarnya tentang Islam yang rahmatan lil alamin,”
katanya.
Amerika negara Islami?
Ustadz Ali juga punya kebiasaan menulis kegiatan dakwahnya di “mailinng list”.
Tanggal 22 Oktober lalu, misalnya, ia berkisah tentang pengalamannya
menjadi pembicara bersama Rabbi Marc Shneier dari East New York
Synagogue dalam acara “Dialog Muslim-Yahudi: Tantangan dan Peluang
Hubungan di Masa Depan”. Acara yang dihadiri lebih dari 400-an mahasiswa
dan professor Universitas New York (NYU) itu, menurut Syamsi Ali,
berjalan hangat dan seru.
Moderator diskusi, Joel Cohen, mantan jaksa dan penulis buku “Moses
and Jesus in Dialogue” bertanya mengenai bagaimana Syamsi Ali menyikapi
jika suatu ketika ada Muslim, yang dalam bahasa Cohen “a Mullah”, ingin
mendirikan negara Islam di Amerika.
Jawaban Syamsi Ali mengejutkan peserta. Banyak di antara mereka
geleng-geleng kepala. Syamsi menegaskan bahwa “syariat phobia” yang
masih menggeluti kebanyakan warga Amerika seharusnya dikurangi.
“Amerika, dalam banyak hal lebih pantas untuk dikatakan negara Islam
ketimbang banyak negara yang diakui sebagai negara Islam saat ini,” ujar
Syamsi Ali.
Amerika, katanya, telah lebih banyak menegakkan syariat Islam
ketimbang negara-negara yang mengaku mengusung syariat. Untuk itu,
seorang Muslim yang paham tentang konsep masyarakat dalam Islam, tidak
akan pernah mempermasalahkan itu lagi. Sebaliknya, non-Muslim juga
seharusnya tidak perlu “over worried” mengenai hal tersebut.
Dalam pandangan Syamsi Ali, syariat adalah landasan hidup seorang
Muslim. Berislam tanpa bersyariat adalah sesuatu yang mustahil.
Hukum-hukum yang mengatur kehidupan seorang Muslim, mulai dari
masalah-masalah keimanan, ritual, hingga kepada masalah-masalah
mu`amalat (hubungan antar makhluk) masuk dalam kategori syariah. Untuk
itu, memutuskan hubungan antara kehidupan seorang Muslim dengan syariat
sama dengan memisahkan antara daging dan darahnya.
Amerika yang didirikan di atas asas kebebasan, kesetaraan dan
keadilan untuk semua, sesungguhnya didirikan di atas asas nilai-nilai
dasar Islam. Islam juga didasarkan kepada nilai-nilai kebebasan
(al-hurriyah), keadilan (al `adaalah) dan persamaan (al musawah).
Atas dasar itu, Syamsi Ali dengan keyakinan penuh menegaskan bahwa
kehadiran Islam di Amerika adalah ibarat benih subur yang terjatuh di
atas lahan yang subur. Dia akan tumbuh dengan baik dan subur karena
memang lahan yang ditempatinya sesuai dengan kebutuhan benih tanaman
ini.
Kelak, lanjut Syamsi, tanaman ini pasti akan dirasakan karena memang
manusia yang mendiaminya telah lama marasakan kehausan untuk itu.