Ini bukan soal wacana perang akhir zaman yang telah diramalkan oleh Nabi. Tetapi mungkin bisa jadi inilah bagian kecil darinya, atau semacam appetizers…
Ini adalah soal tentang pertempuran ide(ologi) diseputar kita. 24 jam, tanpa henti, televisi, koran, majalah, tabloid, bahkan di gadget smartphone yang kita miliki.
Kata Said Qutb, “Satu buah peluru hanya bisa menembus satu kepala, satu buah pena bisa menembus ribuan…”
Begitulah kawan, kini senjata yang jauh lebih mematikan daya destruktifnya adalah “pena”. Tulisan memang tidak menyebabkan seseorang mati fisik, namun hati dan otak mereka bisa mati membatu. Lebih parah. Bahkan kematian nurani itu bisa menular massif bagai wabah-bergenerasi, semua tergantung bagaimana medium yang digunakan dan juga kemasannya.
Dan sejalan dengan tutur nabi terkait akhir zaman, dimana akan datang suatu masa orang-orang membenarnya orang yang dusta dan mendustakan orang-orang yang benar dan mempercayai orang-orang yang khianat dan mengkhianati orang-orang yang dipercaya... (H.R. Ibnu Majah/4036).
Dan media cetak-digital-audio visual kini menjadi sarana dan senjata utamanya, membenarkan ramalan nabi tersebut. Atas kerja-kerja tukang sihir baru di zaman mutakhir ini kita perlu sikap yang tepat.
Dunia kini sedang dan telah mengalami shifting of power, semua bisa memiliki potensi distruktif, sekaligus konstruktif. Tinggal mana yang paling dominan di tiap masing-masing diri. Semua orang bisa menjadi jurnalis dan penyebar berita. Opini, pendapat, fakta, dusta dan realita berbaur menjadi satu, bagai kepulan asap di udara berbaur, bersama partikel lain. Yang baik tampai buruk dan sebaliknya yang buruk bisa tampak bagus.
Framing; bingkai, alur, plot dan narasi serta deskripsi bisa dengan mudah dibuat seperti mengumpulkan kepingan mozaik bagai sebuah puzzle, kemudian direkonstruksi, disusun dan disajikan kepada pembaca dan penikmat berita. Antara fakta dan fiksi dibaur dalam diksi penuh retorika, sarat jebakan dan distorsi sesuai dengan pesanan, sesuai dengan arahan. Kemudian berita pesanan tersebut disebar dengan metode forward, direct selling, word to mouth, viral dan spinning, berputar-putar menjadi diantara ribuan bit data meluap-luap siap menjejali otak-otak kita melalui piranti, gadget dan media audio-visual disekitar. Antara berita dan propaganda menjadi absurd, tidak jelas dan baur-bercampur aduk.
Agaknya Joshep Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler dahulu, lebih vulgar lagi dalam merumus bagaimana cara membentuk citra. Ia mengatakan: “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya” (wikipedia).
Ilmu jurnalis kini menjadi begitu penting perlu kita ajarkan kepada anak-anak kita. Bukan sekedar tentang 9 elemen jurnalisme Bill Kovack tetapi jauh dari pada itu. Kita harus bisa menyiapkan filter yang baik.
Ahli komunikasi Murray Edelman (1977) sudah sejak jauh hari menyampaikan postulat bahwa media melakukan framing karena ia punya konstruksi, ideologi, dan politiknya sendiri. Tidak ada media yang benar-benar independen. Berharap media berenang di ruang hampa adalah hampir mustahil. Sama seperti berharap objektifitas ala ruang hampa dimana menuntut mereka hanya memberitakan yang baik-baik saja , tentu sangat absurd dan nyaris utopis belaka. Ingat dogma: “The bad news is the good news.”
Tinggal kita menilai mana media yang memiliki keberpihakan pada sudut kebenaran dan mana yang sebaliknya. Kadangkala di medan seperti ini tidak ada lagi abu-abu. Jika salah satu berada di sudut yang benar, maka yang lain sudah barang tentu berada di sudut yang tidak benar. Hanya kepiawaian media-lah yang menciptakan kamuflase dan topeng sehingga seakan-akan mereka bisa dianggap netral, padahal tidak!
Al Quran menjelaskan dengan begitu gamblang, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq* membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot[49]:6) Apa sih Fasiq itu? Mereka adalah orang yang keluar dari ketentuan syar’i, orang yang berbuat maksiat,yang meninggalkan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla dan keluar dari jalan yang benar.
Tabayyun atau klarifikasi terhadap sebuah berita bukan hanya ditujukan kepada orang yang fasiq saja, sekalipun orang fasiq lebih diutamakan karena terkait dengan kefasiqannya, akan tetapi kepada mukmin yang tsiqoh pun sebaiknya juga perlu tabayyun, karena bagaimana pun juga manusia bisa lupa dan salah.
Makna tabayyun sendiri adalah “periksalah dengan teliti”. Maksudnya telitilah berita itu dengan cermat, dengan pelan-pelan, dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghukumi perkara dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar.
Hendaknya meneliti berita yang datang kepadamu sebelum kamu beritakan, sebelum kamu kerjakan dan sebelum kamu menghukumi orang. (Baca Tafsiru Ayatil Ahkam: 1/226, Fathul Qodir: 7/10)
Kita tentu tidak ingin menjadi bagian dari gelombang fitnah akhir zaman. Yang benar menjadi kabur, dan yang jelas nyata benar menjadi salah. Pembunuhan karakter melalui distorsi media, berita melalui tulisan dan atau narasi visual lainnya telah cukup banyak terjadi diseputar kita.
Masing-masing kita kemudian dituntut untuk mampu memiliki daya kritis pada media setajam mereka menyajikan sebuah bingkai berita atau tulisan. Dari sisi internal kita pun jangan sampai sudah apriori dan membentuk frame sendiri sehingga objektivitas dalam menelah berita pun sudah tidak ada. Prinsip gelas kosong. Kosongkan saja dulu konstruksi dalam benak kita. Be foolish and empty… and then let’s think wisely!
“Wahai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil.
Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maa’idah: 8)
Lihat siapa yang menyampaikan, lalu cek isinya secara menyeluruh,
tidak ditelan mentah-mentah seluruhnya, baca detail dan bandingkan judul
dengan isi dan tangkap pesan tersiratnya. Bandingkan dengan realitas
yang ada, atau sumber-sumber lain sebagai second opinion, jangan
asal percaya pada setiap berita yg kita dengar dan kita baca. Termasuk
pada narasi dan berita yang sejalan dengan keinginan dan kemauan kita.Saat ini antara detik.com, kompas, tempo, vivanews dan media mainstream lainnya tidak ada bedanya dengan informasi yang datang dari mat kundil, agam canthoy atau siapa pun.
Sikapi dengan separuh percaya dan separuh tidak percaya. Lalu kunyah-kunyah kembali sebelum mem-forward. Buat disclaimer scara personal terlebih dahulu.
Sumber : http://rifkisyabani.wordpress.com/2014/03/20/perang-media-perang-dunia-ketiga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar