Sabtu, 09 Agustus 2014

Perang (Media), Perang Dunia Ketiga!


Image
Ini bukan soal wacana perang akhir zaman yang telah diramalkan oleh Nabi. Tetapi mungkin bisa jadi inilah bagian kecil darinya, atau semacam appetizers…
Ini adalah soal tentang pertempuran ide(ologi) diseputar kita. 24 jam, tanpa henti, televisi, koran, majalah, tabloid, bahkan di gadget smartphone yang kita miliki.

Kata Said Qutb, “Satu buah peluru hanya bisa menembus satu kepala, satu buah pena bisa menembus ribuan…”

Begitulah kawan, kini senjata yang jauh lebih mematikan daya destruktifnya adalah “pena”. Tulisan memang tidak menyebabkan seseorang mati fisik, namun hati dan otak mereka bisa mati membatu. Lebih parah. Bahkan kematian nurani itu bisa menular massif bagai wabah-bergenerasi, semua tergantung bagaimana medium yang digunakan dan juga kemasannya.

Dan sejalan dengan tutur nabi terkait akhir zaman, dimana akan datang suatu masa orang-orang membenarnya orang yang dusta dan mendustakan orang-orang yang benar dan mempercayai orang-orang yang khianat dan mengkhianati orang-orang yang dipercaya... (H.R. Ibnu Majah/4036).
Dan media cetak-digital-audio visual kini menjadi sarana dan senjata utamanya, membenarkan ramalan nabi tersebut. Atas kerja-kerja tukang sihir baru di zaman mutakhir ini kita perlu sikap yang tepat.

Dunia kini sedang dan telah mengalami shifting of power, semua bisa memiliki potensi distruktif, sekaligus konstruktif. Tinggal mana yang paling dominan di tiap masing-masing diri. Semua orang bisa menjadi jurnalis dan penyebar berita. Opini, pendapat, fakta, dusta dan realita berbaur menjadi satu, bagai kepulan asap di udara berbaur, bersama partikel lain. Yang baik tampai buruk dan sebaliknya yang buruk bisa tampak bagus.

Framing; bingkai, alur, plot dan narasi serta deskripsi bisa dengan mudah dibuat seperti mengumpulkan kepingan mozaik bagai sebuah puzzle, kemudian direkonstruksi, disusun dan disajikan kepada pembaca dan penikmat berita. Antara fakta dan fiksi dibaur dalam diksi penuh retorika, sarat jebakan dan distorsi sesuai dengan pesanan, sesuai dengan arahan. Kemudian berita pesanan tersebut disebar  dengan metode forward, direct selling, word to mouth, viral dan spinning, berputar-putar menjadi diantara ribuan bit data meluap-luap siap menjejali otak-otak kita melalui piranti, gadget dan media audio-visual disekitar.  Antara berita dan propaganda menjadi absurd, tidak jelas dan baur-bercampur aduk.

Agaknya Joshep Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler dahulu, lebih vulgar lagi dalam merumus bagaimana cara membentuk citra. Ia mengatakan: “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya” (wikipedia).
Ilmu jurnalis kini menjadi begitu penting perlu kita ajarkan kepada anak-anak kita. Bukan sekedar tentang 9 elemen jurnalisme Bill Kovack tetapi jauh dari pada itu. Kita harus bisa menyiapkan filter yang baik.

Ahli komunikasi Murray Edelman (1977) sudah sejak jauh hari menyampaikan postulat bahwa media melakukan framing karena ia punya konstruksi, ideologi, dan politiknya sendiri.  Tidak ada media yang benar-benar independen. Berharap media berenang di ruang hampa adalah hampir mustahil. Sama seperti berharap objektifitas ala ruang hampa dimana menuntut mereka hanya memberitakan yang baik-baik saja , tentu sangat absurd dan nyaris utopis belaka. Ingat dogma: “The bad news is the good news.”