Sabtu, 27 April 2013
Mengapa Rasulullah SAW Melarang Minum Sambil Berdiri?
Dalam hadis disebutkan “janganlah kamu minum sambil berdiri”.
---Dari segi kesehatan----
Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringer.
Sfringer adalah suatu struktur muskular (berotot) yang boleh membuka (sehingga air kencing boleh keluar) dan menutup.
Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada ‘pos-pos’ penyaringan yang berada di ginjal.
Jika kita minum sambil berdiri. Air yang kita minum otomatik masuk tanpa disaring lagi.
Terus menuju kandungan air kencing.
Ketika menuju kandungan air kencing itu terjadi pengendapan di saluran sepanjang perjalanan (ureter).
Kerana banyak sisa-sisa yang melekat di ureter inilah awal mula munculnya bencana.
Benar, penyakit kristal ginjal.
Salah satu penyakit ginjal yang sungguh berbahaya.
Disyaki akibat susah kencing, jelas perkara ini berhubungan dengan saluran yang sedikit demi sedikit tersumbat tadi.
Dari Anas r.a. dari Nabi saw.: "Bahawa ia melarang seseorang untuk minum sambil berdiri".
Qatadah berkata, "Kemudian kami bertanya kepada Anas tentang makan. Ia menjawab bahwa hal itu lebih buruk."
Pada masa duduk, apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lambat.
Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, melanggarnya dengan keras.
Jika ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan membesar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan.
Adapun Rasulullah saw pernah sekali minum sambil berdiri, maka itu disebabkan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk, seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukan merupakan kebiasaan.
Manusia pada masa berdiri, ia dalam keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga boleh berdiri stabil dan dengan sempurna.
Ini merupakan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan saraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak boleh mencapai ketenangan yang merupakan syarat terpenting pada masa makan dan minum.
Rabu, 17 April 2013
Iwan Setyawan, Anak Sopir Angkot Penakluk New York
"Sukses hidup di Amerika, kini pulang jadi penulis laris"
by Wuri Handayani, Marlina Irdayanti
Jum'at, 12 April 2013, 06:00 WIB
VIVAlife - Seorang pria
memasuki dunia lain. Sedikit pun tak pernah tersirat ia akan berada di
tempat ini. Bandara John F Kennedy. Ya, ini New York!
Ia melanjutkan perjalanannya dengan mobil. Melewati Manhattan,
nafasnya tertahan sejenak: gedung-gedung menjulang, dan puncak Chrysler
Building berkilau seperti berlian. Lalu Empire State Building pamer
kemegahan. Juga Sungai Hudson, seperti menenggelamkan jiwanya.
Bronx, ia juga melewatinya. Sedikit menyurut dari kemewahan
Manhattan, di sini lebih banyak kedai cepat saji, pemusik jalanan, dan
lalu lalang orang di subway station.
Lepas dari Bronx ia menapakkan kaki di Westchester. Kebetulan saat
itu sedang musim gugur. Daun hijau menjelma keemasan, merah muda, merah
tua, merah keemasan. Makin romantis dengan terpaan sinar matahari.
"Ini sambutan untuk saya, saya tidak sedang bermimpi," gumam Iwan Setyawan. Demikian nama lelaki ini.
Gagap Bahasa Inggris
Dari Batu, Malang, Iwan datang ke New York untuk mewujudkan mimpi.
Mimpi yang sangat sederhana: memiliki kamar tidur sendiri di rumahnya.
Cita-citanya masa kecil sederhana sekali, dia ingin menjadi Hansip.
Dulu itu pekerjaan yang mengagumkan untuknya. "Di lingkungan saya kecil
dulu, nggak ada orang yang bekerja pakai seragam. Ya cuma Hansip itu yang pakai baju serba hijau, belt, sepatu. Itu canggih," ujarnya.
Ke New York, Iwan juga ingin membalas perjuangan keras orang
tuanya, menyekolahkan hingga perguruan tinggi. Iwan memang tak besar di
lingkungan cukup. Ayahnya sopir angkot, dan ibunya hanya di rumah,
mendidik, dan membentuk hati anak-anaknya.
Keinginan membahagiakan keluarga begitu kuat, sampai akhirnya ia berangkat mengisi posisi data processing
di Nielsen Research New York yang merupakan perusahaan riset terkemuka
asal Amerika. Sebenarnya, dari hati kecil ia tak ingin meninggalkan
orang-orang dekatnya di tanah air. Bapak, ibu, kakak, dan adik.
Dari kecil lelaki kelahiran 2 Desember 1974 ini tak pernah jauh
dari keluarga. Ia memang pernah pekerja di Jakarta, di perusahaan sama.
Ia juga merasakan kuliah di Bogor, tempatnya menimba ilmu statistik.
Tapi New York sangat jauh. Ia tak bisa pulang sewaktu-waktu saat
rindu menyerang. Ini sangat menyedihkan untuknya. Tiga bulan pertama di
New York, Iwan tinggal bersama rekan yang sudah dianggap sebagai
kakaknya, Mbak Ati. Ke mana pun ingin pergi pria bertubuh kecil ini
selalu ditemani. Kesedihan makin parah saat Mbak Ati, teman satu-satunya
ini memutuskan pindah ke Australia. Meninggalkan dia seorang diri di
negara asing.
Iwan harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Ia mulai belajar
memasak, mengurus segala tagihan rekening listrik dan telepon sendirian.
Dan terpaksa harus mencari teman baru. Masa penyesuaian ini sangat
sulit. Sesulit penyesuaian dirinya pada pekerjaan, mengingat bahasa
Inggris-nya juga tidak canggih.
"What? What did you say? Would you repeat again?" ceritanya
setiap kali ia mencoba berbahasa Inggris. Saat bekerja, ia lebih banyak
diam. Bukan karena tak mau bergaul, tapi karena ia tidak tahu bagaimana
harus bicara.
Senin, 15 April 2013
Jangan Menunda Shalat
REPUBLIKA.CO.ID – Ketika adzan berkumandang, maka sudah seharusnyalah kita memenuhi panggilan-Nya. Aku jadi teringat sesuatu. Sesuatu yang menjadi renunganku ketika membaca sebaris kalimat yang tertempel di salah satu dinding Masjid yang kulewati di Kota Jeddah.
Kalimat itu menyebut perihal shalat. Kurang lebih mengenai salah satu hadits berikut, “Sesungguhnya pertama kali yang dihisab (ditanya dan diminta pertanggungjawaban) dari segenap amalan seorang hamba di hari kiamat kelak adalah shalatnya. Bila shalatnya baik maka beruntunglah ia. Dan bilamana shalatnya rusak, sungguh kerugian menimpanya.” (HR. Tirmidzi).
Seingatku tulisan di dinding itu, “shalatnya baik” di hadits tersebut dituliskan “shalatnya sempurna”. Aku jadi bercermin ke diriku.
Tambah bercermin lagi, gara-gara teringat pemandangan luar biasa di jalanan menuju Masjidil Haram.
Ketika adzan berkumandang, orang berbondong-bondong memenuhi panggilan-Nya untuk shalat. Ternyata dalam perjalanan ke Masjidil Haram iqamat sudah terdengar. Mereka yang baru sampai separuh jalan, langsung menggelar sajadah di tengah jalan, kemudian melaksanakan ibadah shalat Ashar di tempat itu juga.
Subhanallah… tidak ada tuh yang balik badan terus pulang shalat di rumah. Mereka ada yang melanjutkan ke Masjidil Haram, ada yang melanjutkan shaf shalat di jalanan. Kebetulan yang kuambil pelajaran dari peristiwa ini adalah jangan tunda-tunda untuk melaksanakan shalat. Wallahu’alam bish shawwab.
Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber: Risna Dirgoharjoso
Yusuf Mansur: Berangkat Haji Berkat Sedekah
“Subhanallah walhamdulillah, karena saya sering menyuruh orang untuk bersedekah, saya diuji bertubi-tubi.”
Pendiri Daarul Qur’an Internasional School, Ustadz Yusuf Mansur, mengaku pernah lupa bahwa manusia tak boleh memastikan sesuatu yang belum terjadi. Yusuf berkisah, pada 1990 lalu, ia yakin dan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menunaikan ibadah haji.
Namun, menjelang hari pemberangkatan ia memliliki masalah sehingga batal ke Tanah Haram. Begitu pula pada tahun 2003. Saat itu, Yusuf kembali memiliki segala persiapan untuk berangkat ke Arab Saudi. Namun karena terganjal masalah keluarga, lagi-lagi ia batal untuk menunaikan ibadah haji.
”Astaghfirullah. Saya pernah lupa sudah merasa yakin dan memastikan hal yang belum terjadi. La haula wala quwwata illa billah,” ujarnya.
Tahun 2005, media massa kerap menggunakan gelar haji yang melekat pada dirinya. ”Padahal waktu itu saya belum berhaji. Alhamdulillah, itu saya anggap sebuah doa,” ujarnya. Ia pun sengaja tidak mengklarifikasi masalah itu karena gelar haji memotivasinya untuk terus memohon agar Allah mengijzinkannya berhaji.
Setahun kemudian, sebuah travel terkemuka menawarkan dirinya untuk menunaikan ibadah haji secara gratis. Ia pun diamanahkan untuk menjadi pimpinan rombongan. Ia sempat menolak lantaran belum pernah menunaikan haji. Namun pihak travel terus mendesak ustadz yang pernah keranjingan balap motor ini.
Akhirnya, ia pun setuju dan iklan pun dipajang untuk mengajak masyarakat berangkat haji bersamanya. Pendaftaran para calon jamaah haji pun mengalir. Antusias masyarakat yang ingin pergi bersamanya begitu tinggi.
Tapi Allah masih berkehendak lain. Menjelang pemberangkatan, pihak travel membatalkan dengan alasan jika belum berhaji tidak diizinkan memimpin rombongan. Akhirnya, pihak travel menawarkan dirinya menjadi jamaah lebih dulu, dan tahun berikutnya menjadi pemimpin rombongan.
Tapi tawaran tersebut tak lagi gratis namun mendapat diskon hampir setengah harga. Pria kelahiran Jakarta, 19 Desember 1976 ini mengaku sempat menangis. Bukan karena biaya gratis yang dibatalkan. Ia khawatir merasa membohongi masyarakat dan membuat kecewa banyak calon jamaah.
Namun, ia lebih sedih lantaran Allah tak jua memanggilnya untuk ke Tanah Suci. Ayah empat putra tersebut hampir saja khilaf dan memarahi pimpinan travel. Tapi ia terus bersabar dan bertawakal. Penggarap juga pemain film Kun Fa Yakun ini sempat pesimis dirinya takkan pernah berhaji. Yusuf sempat trauma membicarakan masalah haji, tapi kemudian bangkit lagi. Ia kemudian menyerahkan keinginan mulianya kepada Sang Khalik.
Pendiri Daarul Qur’an Internasional School, Ustadz Yusuf Mansur, mengaku pernah lupa bahwa manusia tak boleh memastikan sesuatu yang belum terjadi. Yusuf berkisah, pada 1990 lalu, ia yakin dan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menunaikan ibadah haji.
Namun, menjelang hari pemberangkatan ia memliliki masalah sehingga batal ke Tanah Haram. Begitu pula pada tahun 2003. Saat itu, Yusuf kembali memiliki segala persiapan untuk berangkat ke Arab Saudi. Namun karena terganjal masalah keluarga, lagi-lagi ia batal untuk menunaikan ibadah haji.
”Astaghfirullah. Saya pernah lupa sudah merasa yakin dan memastikan hal yang belum terjadi. La haula wala quwwata illa billah,” ujarnya.
Tahun 2005, media massa kerap menggunakan gelar haji yang melekat pada dirinya. ”Padahal waktu itu saya belum berhaji. Alhamdulillah, itu saya anggap sebuah doa,” ujarnya. Ia pun sengaja tidak mengklarifikasi masalah itu karena gelar haji memotivasinya untuk terus memohon agar Allah mengijzinkannya berhaji.
Setahun kemudian, sebuah travel terkemuka menawarkan dirinya untuk menunaikan ibadah haji secara gratis. Ia pun diamanahkan untuk menjadi pimpinan rombongan. Ia sempat menolak lantaran belum pernah menunaikan haji. Namun pihak travel terus mendesak ustadz yang pernah keranjingan balap motor ini.
Akhirnya, ia pun setuju dan iklan pun dipajang untuk mengajak masyarakat berangkat haji bersamanya. Pendaftaran para calon jamaah haji pun mengalir. Antusias masyarakat yang ingin pergi bersamanya begitu tinggi.
Tapi Allah masih berkehendak lain. Menjelang pemberangkatan, pihak travel membatalkan dengan alasan jika belum berhaji tidak diizinkan memimpin rombongan. Akhirnya, pihak travel menawarkan dirinya menjadi jamaah lebih dulu, dan tahun berikutnya menjadi pemimpin rombongan.
Tapi tawaran tersebut tak lagi gratis namun mendapat diskon hampir setengah harga. Pria kelahiran Jakarta, 19 Desember 1976 ini mengaku sempat menangis. Bukan karena biaya gratis yang dibatalkan. Ia khawatir merasa membohongi masyarakat dan membuat kecewa banyak calon jamaah.
Namun, ia lebih sedih lantaran Allah tak jua memanggilnya untuk ke Tanah Suci. Ayah empat putra tersebut hampir saja khilaf dan memarahi pimpinan travel. Tapi ia terus bersabar dan bertawakal. Penggarap juga pemain film Kun Fa Yakun ini sempat pesimis dirinya takkan pernah berhaji. Yusuf sempat trauma membicarakan masalah haji, tapi kemudian bangkit lagi. Ia kemudian menyerahkan keinginan mulianya kepada Sang Khalik.
Pertolongan Alquran di Alam Kubur
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Soraya Khoirunnisa
Dari Sa’id bin Sulaim ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tiada penolong yang lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada Al-Qur’an. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya.” (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya).
Bazzar meriwayatkan dalam kitab La’aali Masnunah bahwa jika seseorang meninggal dunia, ketika orang-orang sibuk dengan kain kafan dan persiapan pengebumian di rumahnya, tiba-tiba seseorang yang sangat tampan berdiri di kepala mayat. Ketika kain kafan mulai dipakaikan, dia berada di antara dada dan kain kafan.
Setelah dikuburkan dan orang-orang mulai meninggalkannya, datanglah dua malaikat. Yaitu Malaikat Munkar dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan tanya jawab.
Tetapi si tampan itu berkata,” Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan untuk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia dimasukkan ke dalam syurga.”
Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata,”Aku adalah Alquran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan. Jangan khawatir setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.”
Setelah para malaikat itu selesai memberi pertanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la. (Himpunan Fadhilah Amal : 609)
Allahuakbar, selalu saja ada getaran haru selepas membaca hadis ini. Getaran penuh pengharapan sekaligus kekhawatiran. Getaran harap karena tentu saja mengharapkan Alquran yang kita baca dapat menjadi pembela kita di hari yang tidak ada pembela. Sekaligus getaran takut, kalau-kalau Alquran akan menuntut kita. Allah… terimalah bacaan Alquran kami. Sempurnakanlah kekurangannya.
Banyak riwaya yang menerangkan bahwa Alquran adalah pemberi syafa’at yang pasti dikabulkan Allah SWT. Upaya agar mendapatkan syafaat Alquran tentu saja dengan mendekatkan diri kepada Alquran. Salah satu cara yang sangat baik dalam “memaksa” kita untuk dekat dengan Alquran adalah dengan menghafalkannya.
Dengan berniat menghafal Alquran hati kita seakan-akan terpanggil untuk selalu memegang Alquran. Ada tanggung jawab yang membuat kita merasa “bersalah” jika tidak memegang Al-Qur’an. Walaupun mungkin sekedar membacanya.
Pada akhirnya kita mau tidak mau “dipaksa” untuk mendekat kepada Alquran. Dapat dikatakan dengan menghafalkan Alquran kita telah mengikatkan diri dengan Al-Qur’an. Sesibuk apapun kita, kita dipaksa untuk selalu dekat Alquran. Dan itu sungguh bukan termasuk “pemaksaan” yang aniaya. Melainkan pemaksaan yang penuh kebaikan.
Semoga hadis di atas menjadi cambuk bagi kita ketika rasa malas menerpa kita. Semoga Allah dengan kemuliaanNya menjadikan Alquran sebagai syafa’at bagi kita, bukan sebagai penuntut kita.
Semoga Alquran menjadi “teman” bagi kita ketika tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menemani kita. Amin. Mari menghafal Alquran.
Dari Sa’id bin Sulaim ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tiada penolong yang lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada Al-Qur’an. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya.” (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya).
Bazzar meriwayatkan dalam kitab La’aali Masnunah bahwa jika seseorang meninggal dunia, ketika orang-orang sibuk dengan kain kafan dan persiapan pengebumian di rumahnya, tiba-tiba seseorang yang sangat tampan berdiri di kepala mayat. Ketika kain kafan mulai dipakaikan, dia berada di antara dada dan kain kafan.
Setelah dikuburkan dan orang-orang mulai meninggalkannya, datanglah dua malaikat. Yaitu Malaikat Munkar dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan tanya jawab.
Tetapi si tampan itu berkata,” Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan untuk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia dimasukkan ke dalam syurga.”
Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata,”Aku adalah Alquran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan. Jangan khawatir setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.”
Setelah para malaikat itu selesai memberi pertanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la. (Himpunan Fadhilah Amal : 609)
Allahuakbar, selalu saja ada getaran haru selepas membaca hadis ini. Getaran penuh pengharapan sekaligus kekhawatiran. Getaran harap karena tentu saja mengharapkan Alquran yang kita baca dapat menjadi pembela kita di hari yang tidak ada pembela. Sekaligus getaran takut, kalau-kalau Alquran akan menuntut kita. Allah… terimalah bacaan Alquran kami. Sempurnakanlah kekurangannya.
Banyak riwaya yang menerangkan bahwa Alquran adalah pemberi syafa’at yang pasti dikabulkan Allah SWT. Upaya agar mendapatkan syafaat Alquran tentu saja dengan mendekatkan diri kepada Alquran. Salah satu cara yang sangat baik dalam “memaksa” kita untuk dekat dengan Alquran adalah dengan menghafalkannya.
Dengan berniat menghafal Alquran hati kita seakan-akan terpanggil untuk selalu memegang Alquran. Ada tanggung jawab yang membuat kita merasa “bersalah” jika tidak memegang Al-Qur’an. Walaupun mungkin sekedar membacanya.
Pada akhirnya kita mau tidak mau “dipaksa” untuk mendekat kepada Alquran. Dapat dikatakan dengan menghafalkan Alquran kita telah mengikatkan diri dengan Al-Qur’an. Sesibuk apapun kita, kita dipaksa untuk selalu dekat Alquran. Dan itu sungguh bukan termasuk “pemaksaan” yang aniaya. Melainkan pemaksaan yang penuh kebaikan.
Semoga hadis di atas menjadi cambuk bagi kita ketika rasa malas menerpa kita. Semoga Allah dengan kemuliaanNya menjadikan Alquran sebagai syafa’at bagi kita, bukan sebagai penuntut kita.
Semoga Alquran menjadi “teman” bagi kita ketika tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menemani kita. Amin. Mari menghafal Alquran.
Redaktur : Heri Ruslan |