Minggu, 03 Juni 2012

Dilema Menyandang Status Sarjana

Cerita ini berawal dari sebuah diskusi dengan seorang lulusan perguruan tinggi yang menyandang gelar S1. Sebut saja namanya Atok (bukan nama sebenarnya). Dia lahir dan besar di sebuah kampung. Ketika lulus SMA, anggota keluarga sangat bahagia karena dia akan melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama. Pesta pun dilakukan sebelum dia merantau ke luar kota. Bahkan pesta juga dilakukan lagi ketika dia menyelesaikan studinya di kampus tersebut. Ternyata, di relung hati yang paling dalam Atok mengalami kesedihan yang luar biasa karena sampai beberapa waktu lulus kuliah, belum juga mendapatkan pekerjaan. Dengan panjang lebar, Atok bercerita beban yang dia alami setelah menyandang gelar sarjana tersebut. Berikut kesimpulan yang saya sarikan dari diskusi tersebut:


1. Beban berat dengan orang tua
Dalam hati yang paling dalam, Atok sadar jika dia telah menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan gelar sarjana tersebut. Namun sekian lama berselang, Atok  masih belum mendapatkan pekerjaan yang bagus. Berbagai lamaran pekerjaan pun dikirimkan, namunya hasilnya nihil. Jika diterima, jenis pekerjaan yang ditawarkan jauh dari keahlian dan ilmu yang didapatkannya di kampus. Sebagai anak yang baik, Atok sadar jika tidak selamnya dia harus menggantungkan hidupnya dari orang tua. Pada suatu saat nanti, dia harus mandiri dan memiliki keluarga sendiri.


2. Beban di hadapan masyarakat luas
Komentar miring tentang seorang sarjana yang mengganggur memang sering terdengar di masyarakat kita. Misalnya, "kenapa harus pusing-pusing kuliah mahal jika akhirnya juga sama -sama menganggur?.  Nampaknya masyarakat luas belum bisa menerima jika ada seorang sarjana belum bekerja. Atok pun mendapatkan komentar miring yang sama dari tetangga kanan dan kirinya.


3. Beban di depan calon pasangan hidup dan mertua
Semenjak semester akhir menjelang kuliah selesai, Atok telah menjalin hubungan yang baik dengan seorang cewek. Saat ini posisi cewek Atok jauh lebih beruntung, meskipun gajinya kecil sudah bekerja di kota kelahirannya. Karena usia sudah cukup dewasa, si perempuan sudah mengajaknya untuk berkeluarga. Ketika mendengar ajakan tersebut, Atok pun bingung bukan kepanyang. Bagaimana dia mau nikah kalau dirinya belum juga bekerja? Bagaimana dia akan menghidupi istri dan anak-anaknya kelak? Bagaimana dia  harus mempertanggung jawabkan di hadapan mertua jika dia mampu menghidupi anak perempuanya  dengan layak? Terus terang Atok sangat galau pada waktu itu.


Dari diskusi panjang dengan Atok, saya pun membuat kesimpulan sebagai berikut:

  1. Perlu hati-hati dengan jurusan pilihan ketika kuliah. Yakinkan betul kita menguasai bidang ilmu tersebut dan mampu untuk mengkaryakannya. Tidak selamanya kita akan bekerja dengan orang lain. Ada kalanya kita harus mampu membuat lapangan pekerjaan sendiri berbekal ilmu yang kita dapatkan di bangku sekolah ataupun perguruan tingggi.
  2. Perlu kita menyiapkan diri ketika kuliah dengan membangun jaringan relasi yang baik, terutama mereka-mereka yang memiliki lapangan pekerjaan. Jadilah mahasiswa yang aktif dan produktif membangun relasi ketika kuliah. Bergaulah secara luas, jika memungkinkan lebih mencoba mencari pekerjaan sampingan.
  3. Jangan mengandalkan hanya ilmu yang didapat dari kampus karena persyaratan kerja memerlukan keahlian yang seringkali tidak kita pelajari dengan baik di kampus, seperti komputer dll.
  4. Perlu disadari jika banyak dari kita menekuni pekerjaan yang seringkali keluar dari jalur disiplin ilmu yang dipelajari di kampus. Seorang mahasiswa lebih baik memiliki aneka macam kemampuan dan skills sebagai back up.
  5. Jangan menyerah untuk mencoba mencari pekerjaan atau menyiapkan pekerjaan untuk dirinya sendiri dengan model berwiraswasta.
Silahkan membaca tulisan yang lain tentang susahnya bekerja di :  http://subekti.com/2012/03/16/seberapa-banyak-uang-keluar-untuk-kuliah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar