Amat banyak
kisah cinta yang abadi dalam catatan sejarah. Kisah-kisah cinta itu
terbentang di sepanjang zaman dengan tingkat keharuman yang tak kurang
pesonanya. Semakin sering dibincang, kisah-kisah cinta itu akan
bertambah menginspirasi dan amat layak tuk diteladani.
Ini kisah tentang pemuda biasa yang
mencintai Allah Swt dan menghabiskan waktunya untuk berdakwah. Ia adalah
anak sulung dari delapan bersaudara. Ibunya adalah wanita shalihah
bernama Hajjah Ummu Sa’ad Ibrahim Shaqr. Sedangkan bapaknya adalah
seorang ahli agama, penghafal al-Qur’an dan Hadits yang berprofesi
sebagai tukang jam, Ahmad Abdurrahman namanya.
Sebagaimana lazimnya seorang keluarga
muslim, mereka menjalin silaturahim dengan tetangga-tetangga sekitar
untuk mendakwahkan Islam. Salah satu keluarga yang menerima dakwah
melalui keluarga ini adalah keluarga kalangan menengah bernama al-Hajj
Husain as-Shuli.
Pada suatu hari, sang ibu berkunjung ke
rumah tetangganya itu. Di tengah perbincangan, terdengarlah lantunan
merdua nan syahdu ayat-ayat suci al-Qur’an yang berasal dari salah satu
ruangan rumah. Bacaannya bukan sekedar bacaan. Dari lantunan itu bisa
dirasakan betapa pembacanya amat menghayati makna dan larut dalam
kisah-kisah Qur’ani tersebut. Sebab keingintahuan yang mendalam, sang
ibu pun menanyakan siapakah pelantun khusyuk ayat-ayat Allah Swt itu.
Dijawab oleh keluarga itu, “Dia adalah putri kami,” namanya, “Lathifah
ash-Shuli.”
Betapa bersuka citanya sang ibu selepas
mendengar bacaan al-Qur’an nan merdu itu. Sesampainya di rumah, tanpa
berpikir dua kali, ia langsung berkata kepada anak sulungnya, ia hendak
menikahkannya dengan sang wanita pelantun merdu Kalam Ilahi yang baru
sekali didengarnya. Tatkala itu, bahkan sang ibu belum pernah melihat
bagaimana wajah dan keadaan fisik wanita yang hendak dijadikannya
sebagai menantu. Amat yakin, hanya karena mendengar bacaan al-Qur’annya
untuk yang pertama kali!
Sang pemuda adalah sosok yang taat kepada
orangtuanya. Sama sekali tak ada pertentangan dalam dirinya akan maksud
sang ibu itu. Dia yakin bahwa ibunya tak mungkin salah apalagi asal
pilih. Qadarullah, pemuda itu menikah dengan sang wanita pelantun
al-Qur’an. Selanjutnya, pasangan dakwah ini menjadi buah bibir banyak
kalangan karena inspirasi yang ditebarkannya.
Perjalanan rumah tangga kedua pasangan
ini berlangsung selama 18 tahun. Mereka dikaruniai 6 anak. Semua anaknya
berhasil menempuh pendidikan tinggi dan mendapat penghiduan yang layak.
Ada yang menjadi istri seorang dai, yang lainnya menjadi advokat
terkenal, ada juga yang menjadi dosen di Fakultas Kedokteran salah satu
universitas di negerinya.
Sang pemuda shalih yang merupakan ayah
bagi keenam anak dan kepala keluarga bahagia itu, wafat di usia yang
relatif muda. Meskipun nama, jasa dan kerja-kerja dakwahnya terus
menjadi rujukan dan menjadi fenomenal hingga kini dan nanti, insya
Allah.
Yang patut menjadi teladan diantaranya
beliau tak pernah sekalipun mengatakan kalimat yang kasar kepada istri
dan anak-anaknya, senantiasa menyempatkan waktu untuk membantu pekerjaan
istrinya,menjadi imam Tahajjud setiap ada di rumah, memanfaatkan
waktunya untuk memperjuangkan umat dan dai yang senantiasa dikenang oleh
murid-muridnya.
Salah satu kalimat yang amat masyhur
disampaikannya kepada sang istri, “Wahai Ummu Wafa, istana menanti kita
di surga. Allah tak akan menyia-nyiakan amal kita.” Beliau adalah Hasan
al-Banna. Dai yang dibunuh oleh rezim keji Mesir kala itu. Ikhwanul
Muslimin yang didirikannya hingga kini terus bertumbuh dan berbuah;
memberikan kemanfaatan untuk kaum muslimin di seantero dunia.
Sumber http://kisahikmah.com/dai-jutaan-umat-yang-masih-sempat-membantu-istrinya-di-rumah/
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.