Selasa, 13 Januari 2015

Kisah Hidup Hasan Al Banna Pendiri Ikhwanul Muslimin


Amat banyak kisah cinta yang abadi dalam catatan sejarah. Kisah-kisah cinta itu terbentang di sepanjang zaman dengan tingkat keharuman yang tak kurang pesonanya. Semakin sering dibincang, kisah-kisah cinta itu akan bertambah menginspirasi dan amat layak tuk diteladani.
Ini kisah tentang pemuda biasa yang mencintai Allah Swt dan menghabiskan waktunya untuk berdakwah. Ia adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Ibunya adalah wanita shalihah bernama Hajjah Ummu Sa’ad Ibrahim Shaqr. Sedangkan bapaknya adalah seorang ahli agama, penghafal al-Qur’an dan Hadits yang berprofesi sebagai tukang jam, Ahmad Abdurrahman namanya.

Sebagaimana lazimnya seorang keluarga muslim, mereka menjalin silaturahim dengan tetangga-tetangga sekitar untuk mendakwahkan Islam. Salah satu keluarga yang menerima dakwah melalui keluarga ini adalah keluarga kalangan menengah bernama al-Hajj Husain as-Shuli.
Pada suatu hari, sang ibu berkunjung ke rumah tetangganya itu. Di tengah perbincangan, terdengarlah lantunan merdua nan syahdu ayat-ayat suci al-Qur’an yang berasal dari salah satu ruangan rumah. Bacaannya bukan sekedar bacaan. Dari lantunan itu bisa dirasakan betapa pembacanya amat menghayati makna dan larut dalam kisah-kisah Qur’ani tersebut. Sebab keingintahuan yang mendalam, sang ibu pun menanyakan siapakah pelantun khusyuk ayat-ayat Allah Swt itu. Dijawab oleh keluarga itu, “Dia adalah putri kami,” namanya, “Lathifah ash-Shuli.”

Betapa bersuka citanya sang ibu selepas mendengar bacaan al-Qur’an nan merdu itu. Sesampainya di rumah, tanpa berpikir dua kali, ia langsung berkata kepada anak sulungnya, ia hendak menikahkannya dengan sang wanita pelantun merdu Kalam Ilahi yang baru sekali didengarnya. Tatkala itu, bahkan sang ibu belum pernah melihat bagaimana wajah dan keadaan fisik wanita yang hendak dijadikannya sebagai menantu. Amat yakin, hanya karena mendengar bacaan al-Qur’annya untuk yang pertama kali!

Sang pemuda adalah sosok yang taat kepada orangtuanya. Sama sekali tak ada pertentangan dalam dirinya akan maksud sang ibu itu. Dia yakin bahwa ibunya tak mungkin salah apalagi asal pilih. Qadarullah, pemuda itu menikah dengan sang wanita pelantun al-Qur’an. Selanjutnya, pasangan dakwah ini menjadi buah bibir banyak kalangan karena inspirasi yang ditebarkannya.
Perjalanan rumah tangga kedua pasangan ini berlangsung selama 18 tahun. Mereka dikaruniai 6 anak. Semua anaknya berhasil menempuh pendidikan tinggi dan mendapat penghiduan yang layak. Ada yang menjadi istri seorang dai, yang lainnya menjadi advokat terkenal, ada juga yang menjadi dosen di Fakultas  Kedokteran salah satu universitas di negerinya.

Sang pemuda shalih yang merupakan ayah bagi keenam anak dan kepala keluarga bahagia itu, wafat di usia yang relatif muda. Meskipun nama, jasa dan kerja-kerja dakwahnya terus menjadi rujukan dan menjadi fenomenal hingga kini dan nanti, insya Allah.

Yang patut menjadi teladan diantaranya beliau tak pernah sekalipun mengatakan kalimat yang kasar kepada istri dan anak-anaknya, senantiasa menyempatkan waktu untuk membantu pekerjaan istrinya,menjadi imam Tahajjud setiap ada di rumah, memanfaatkan waktunya untuk memperjuangkan umat dan dai yang senantiasa dikenang oleh murid-muridnya.

Salah satu kalimat yang amat masyhur disampaikannya kepada sang istri, “Wahai Ummu Wafa, istana menanti kita di surga. Allah tak akan menyia-nyiakan amal kita.” Beliau adalah Hasan al-Banna. Dai yang dibunuh oleh rezim keji Mesir kala itu. Ikhwanul Muslimin yang didirikannya hingga kini terus bertumbuh dan berbuah; memberikan kemanfaatan untuk kaum muslimin di seantero dunia.
Sumber http://kisahikmah.com/dai-jutaan-umat-yang-masih-sempat-membantu-istrinya-di-rumah/

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar